Aku hanya bisa terpaku dalam gemercik hujan yang terus membasahi pemakaman Nadya sore itu. Entah rintikan air hujan atau air mata yang terus bergelimang dipipiku. Anganku tak bisa terlepas dari kenangan bersama Nadya, yaahh dia sahabat terbaikku, satu-satunya sahabat yang Tuhan kirimkan untukku. Pemakaman itu terlihat sepi, para pelayat mungkin sudah kembali sejak satu jam yang lalu. Begitu juga dengan keluara Nadya, bisa ku bayangkan betapa sedihnya mereka kehilangan sesosok malaikat berwujud manusia dalam diri Nadya.
Ku belai pelan-pelan butiran tanah yang kini telah menemani jasad sahabatku itu.
Ku dekatkan wajahku pada pusarannya, seraya berbisik kecil.
“Nad, dulu kamu selalu bilang sama aku kalau kamu benci dengan hujan,
karena hujan hanya mendatangkan rasa dingin yang menyakitkan.
Dan kini kamu gak perlu berurusan lagi dengan hujan, kamu juga gak akan pernah ketemu lagi dengan yang namanya hujan,
kamu gak harus marah-marah karena rambut hitammu yang panjang itu basah karena hujan,
kamu gak harus pake selimut tebal buat nutupin tubuh kamu karena dinginnya hujan.
Karena kini aku yakin kamu akan lebih tenang dan tubuhmu akan tetap hangat dialam sana.
Kamu juga gak perlu nangis karena rasa sakit kanker yang udah nyakitin tubuh kamu selama ini. Aku tahu kamu begitu benci dengan penyakit itu, aku juga sangat merasa tersakiti. Karena penyakit itu kini telah merenggutmu dari hiduku, mengambil sahabat terbaikku, membawa pergi bingkai indah yang selalu menemani dan menjaga hidupku.
Tapi sekarang, aku gak akan jadi Ody yang biasanya harus selalu menang dalam segala hal, aku gak perlu memaksakan egoku untuk buat kamu selalu ada disampingku Nad. Karena aku yakin, kehidupanmu dialam sana akan jauh lebih indah. Karena Tuhan udah nyiapin kebahaiaan yang abadi buat kamu, sahabatku. Kebahagiaan yang gak akan menyakiti ragamu lagi, kebahagiaan yang akan membawamu jauh dari air mata kesakitan.
Dan sekarang kamu udah bisa tidur tenang tanpa harus menahan rasa sakit itu”.
“Di dunia ini memang gak ada yang abadi Nad, begitu juga dengan persahabatan kita.
Aku gak akan mampu menjadi sahabat yang abadi buat kamu.
Buktinya aja,
aku takut buat nemenin kamu dibawah tanah sana.
Aku gak berani buat mengakhiri hidupku untuk selalu ngejaga kamu dialam sana.
Dan kini aku sadar, sahabat yang abadi di kehidupan ini bukan seseorang yang selalu membuat kita merasa nyaman didekatnya, atau seseorang yang selalu membuat kita tersenyum bahagia.
Tapi sahabat yang abadi di dunia ini adalah “tanah”.
Karena hanya tanah yang gak pernah berhenti ngejaga kita dari awal lembaran hidup sampai ketika kita sudah tidak diakui keberadaannya ditengah kehidupan ini.
Aku memang bukan tanah karena aku hanya seseorang yang mencoba menjadi sahabat buat kamu, bukan sahabat yang abadi namun hanya “seorang sahabat yang dititipkan Tuhan buat ngejagain kamu selama di dunia ini”, tapi tenang aja Nad,
aku udah pesan sama tanah-tanah ini buat selalu jagain kamu.
Tanah ini akan jadi pengganti pundakku kalo kamu pengen nangis,
tanah in akan jadi pengganti tanganku kalo kamu ketakutan.
Dan ingat Nad, Tuhan pasti akan selalu ngejagain kamu.
Karena aku tahu Tuhan begitu sayang sama kamu”.
Udah dulu ya Nad, aku janji bakal sering nengokin kamu disini”.
“tetap jadi sahabat terbaikku Nadya”.
Kata-kata itu mengakhiri percakapan terakhirku dengan Nadya.
Aku tak tahu apa Nadya mendengan semua keluh kesah dan semangat yang coba ku berikan tadi. Tapi jika Nadya tak mendengarnya, ku harap Malaikat-malaikat yang baik hati akan dengan tulus mau menyampaikan pesan-pesanku pada Nadya.
Aku tak tahu mengapa Tuhan hanya mengirimkan satu sahabat terbaik untukku, apa Tuhan membenciku? Aku yakin Tuhan sangat membenciku, buktinya Tuhan tak pernah memberikan kebahagiaan yang abadi padaku. Tuhan hanya menitipkan seorang sahabat dalam angan langkah hidupku.
Jika benar Tuhan membenciku, aku tak harus membenci Tuhanku. Karena aku yakin, suatu saat nanti Tuhan tak kan membenciku lagi, jika aku mampu menjalani semua cobaan yang ia berikan padaku.
Namun setidaknya Tuhan sudah memberikan jalan yang terbaik buat sahabatku Nadya.
Bertahun-tahun Nadya menyembunyikan penyakit kanker otak yang dideritanya.
Ia begitu lihai menutupi virus jahat yang selalu menyakiti kulit kuning langsat dan tubuh kurusnya itu.
Aku udah merelakan kepergian sahabat terbaikku itu, namun aku belum bisa memaafkan seseorang yang sudah menyakiti hati Nadya diakhir masa hidupnya.
Reno, pacar Nadya sejak ia masih SMP kelas 3 sampai SMA kelas 2 ini, sudah menyakiti sahabatku.
Apa salah seorang wanita yang berjuang sendiri melawan penyakit ganas itu?
Apa tidak cukup Nadya harus menangis menahan rasa sakitnya sendiri?
Hanya sendiri..!
Karena Nadya tidak pernah mau membagi rasa sakitnya itu sekalipun pada orang-orang terdekatnya.
Nadya tidak ingin melihat orang-orang yang ia sayangi ikut larut dalam hari-hari berkabungnya.
Tapi Reno?
Cowok yang sudah lebih dari 1 tuhun menjadi orang terdekat dalam hidupnya,
Dengan mudah meninggalkannya setelah tahu penyakit yang diderita oleh Nadya.
Apakah seperti itu sebuah cinta yang diagungkan oleh berjuta ummat di dunia ini?
Apakah seperti itu kekuatan kasih sayang yang selalu terucap manis dalam diri seseorang yang mengaku telah mengenal apa itu cinta?
Apakah hanya manusia dengan kesempurnaan raga yang mampu merasakan kebahagiaan dari sebuah cinta?
Apakah cinta mengenal keterbatasan?
TOLOL…!
Semua begitu munafik..!
Dan yang ada dibenakku kini
“Sebuah cinta telah menyakiti sahabatku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar