Kamis, 19 Mei 2011

SENI YAN TERHAPUS ZAMAN

cerpen ini, pernah meraih juara 3 PORSENI tingkat Provinsi NTB pada Lomba Pembuatan Cerpen tahun 2008


SENI YANG TERHAPUS ZAMAN

                    Di siang hari yang sangat panas, tak terlihat satupun binatang yang berkeliaran. Tampak Ari sedang duduk di teras depan rumahnya, ia juga merasakan panasnya udara siang yang menyengat. Rencananya Ari dan kedua temannya akan pergi mengunjungi pak Wardi, yang rumahnya tak jauh ari sekolah ketiga anak itu. Pak Wardi adalah seorang seniman lokal, setiap hari pak Wardi bekerja sebaga pembuat gendang belek (alat musik tradisional Lombok).

                    Tak lama kemudian Dodi dan Pian datang, tampak didepan rumah Ari mereka mengucapkan salam, dan dijawab dengan sopan oleh Ari. ”Kemana saja kalian, kok baru datang sekarang, ntar ke siangan loh!”, tanya Ari. ”Sorry deh, tadi ngisi perut dulu di warung buk Wiwik habisnya laper sih”, jawab Dodi. Sebelum berangkat Ari berpamitan pada Ibunya. Dan Ibu minta tolong kepada Ari untuk mengantarkan makanan untuk ayah Ari di sawah, kebetulan searah dengan rumah pak Wardi. Ayah Ari bernama pak Wildan, beliau adalah seorang petani jagung. Walaupun hanya seorang petani, tapi pak Wildan dan keluarganya hidup berkecukupan. Ari tidak pernah merasa malu mempunyai ayah seorang petani. Buktinya sampai sekrang, ia masih bisa bersekolah di Tsanawyah favorit di desanya.

                    Setelah Ari dan kedua temannya mengantarkan makanan untuk ayah Ari. Merekapun bergegas pergi menuju rumah pak Wardi. Karna cuaca yang sangat panas mereka berangkat menggunakan becak. Dalam perjalanan mereka berbincang-bincang masalah kunjungannya itu. Ari dan Pian tidak pernah bertemu ataupun mengenal sosok pak Wardi, mereka penasaran dengan cerita Dodi tentang pembuatan alat musik tradisional itu.

                    ”Aku sangat senang bisa berkunjung lagi ke rumah pak Wardi, ia adalah seorang yang ramah, walaupun usianya sudah tak muda lagi, bapak satu orang anak itu sangat mahir dalam membuat gendang belek”, tutur Dodi. Sesampai di depan rumah pak Wardi, Pian memberikan satu lembar uang seribuan pada kusir becak itu. Kebetulan saat mereka datang, pak Wardi berada di teras rumahnya, ia sedang membuat sebuah gendang berukuran kecil. Ketiga anak itupun mengucapkan salam dan disambut oleh pak Wardi sambil tersenyum kecil.

                    ”Maaf pak kami mengganggu, teman-teman saya sengaja kemari karna kami sangat ingin melihat cara pembuatan gendang belek, bolehkan pak?, tanya Dodi.,”Tentu saja boleh, bapak sangat senang bila ada yang berminat”. Pian, Dodi dan Ari memperhatikan dengan serius tangan pak Wardi yang mahir itu. Ari bertanya pada pak Wardi ”mengapa aku tidak pernah melihat alat musik seperti ini ya?”. pak Wardi hanya tertawa, ”memang anak Lombok zaman sekarang banyak yang tidak tau apa itu gendang belek, padahal itu adalah alat musik tradisional dari Lombok.

                    ”Bapak tidak heran, anak lelaki bapak yang seumuran kalian saja merasa malu memelajari alat musik ini. Pasti kalian lebih mengenal alat-alat musik band yang sering di siarkan di TV itu kan?”. ”Ya pak,” jawab ketiga anak itu serempak”. ”Padahal gendang belek tidak kalah bagusnya dengan alat-alat band tersebut, dahulu waktu bapak masih kecil bapak sangat senang bila ada pertunjukan gendang belek . tetapi anak-anak sekarang memang aneh, mereka lebih suka mempopulerkan alat musik negara lain dari pada dari daerahnya sendiri”.

                    Mendengar kata-kata pak Wardi itu, Ari berbisik sendiri, ”ia juga ya kalau begitu sama saja dengan kita menenggelamkan alat-alat musik milik kita sendiri”. Mendengar bisikan Ari pak Wardi berkata, ”kalian boleh saja suka dengan alat musik apapun, karna hobi setiap orang pasti berbeda-beda, tapi jangan lupa dengan alat musik daerah kalian sendiri. Bisa-bisa anak cucu kalian tidak ada yang kenal dengan alat musik daerahnya sendiri, dan tidak menutup kemungkinan bisa diakui oleh negara lain”. ”Seperti tarian reog ponorogo itu ya pak?” tanya Pian. ”Ya benar, negara tetangga kita saja berani mengakuinya, dan bila sudah tak ada bukti-bukti kepemilikan kita, bisa-bisa alat musik itu bisa diakui oleh negara lain”. ”Wah, kalau sudah begitu bisa gawat ya pak!”, sambar Pian kembali. ”Tentu saja, apakah kalian ingin alat musik gendang belek ini di rebut dan di akui oleh negara lain?. Ketiga anak itu hanya menggeleng, karna terpukau dengan penjelasan pak Wardi.

                    Setelah cukup lama berbincang-bincang, pak Wardi mengambil satu piring ubi rebus dan air putih untuk ketiga anak itu.”Maaf merepotkan” kata Ari. ”Tidak apa-apa, bapak sangat senang melihat keseriusan kalian dalam bermusik. Ngomong-ngomong, apa sebab kalian ingin mengetahui cara pembuatan gendang belek?”. ”Sebenarnya begini pak, kami sengaja ingin mencari informasi tentang alat-alat musik tradisional Lombok. Kami hanya heran, waktu pementasan musik dan tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, dari Nusa Tenggara hanya diwakili oleh kesenian dari NTT, apakah NTB tidak memiliki alat musik tradisional yang populer?, begitu pak”, terang Ari.

                    ”Kalian memang generasi yang sangat hebat dan cerdas, semoga alat-lat musik dan kesenian daerah kita tidak terhapus oleh zaman”, jawab pak Wardi dengan bangga. Sepertinya dalam diri pak Wardi tersimpan kenangan manis terhadap alat musik, walaupun sudah tak muda lagi, pak Wardi tetap bersemangat membuat gendang belek. ”Ngomong-ngomong Istri bapak kemana ya?”, tanya Pian. ”Hus,! Istri pak Wardi sudah lama meninggal tau”, bisik Dodi. ”Tidak apa-apa Dodi, Istri bapak sudah meninggal  dua belas tahun yang lalu, sewaktu Iwan anak bapak, masih berumur tiga tahun”. Pian hanya tertunduk malu karna kesalahannya itu.”Dulu sebelum bapak menikah, bapak adalah seorang pemain gendang belek, pada saat bapak beraksi di jalan-jalan desa, seorang wanita cantik terkagum-kagum melihat aksi bapak di jalan itu, dari itu kami berkenalan, dan tiga bulan setelah itu kami menikah. Kebetulan waktu itu di desa ada pernikahan masal, jadi sekalian kami ikut dalam acara nikah masal itu, hemat biaya”, terang pak Wardi.

                    Mendengar cerita hidup pak Wardi, ketiga anak itu tetawa terbahak-bahak. Pak Wardipun ikut larut dalam gelak tawa ketiga bocah kelas tiga Tsanawiyah itu. ”Jadi dulu sering diadakan pernikahan masal ya pak?”, tanya Ari keheranan.” memangnya kenapa? Ari mau bapak daftarkan?”, rayu pak Wardi yang membuat ketiga anak itu tertawa kembali.

                    Karna hari sudah sore, Ari, Dodi, dan Pian berpamitan pulang. Pak Wardi mengantarkan ketiga nak itu sampai depan gerbang rumahnya. Ketiga anak itu pun pulang berjalan kaki. Sesampai Ari di rumah, ia langsung sholay asar dan mandi. Tak lupa ia menceritakan tentang pengalamannya itu kepada kedua orang tuanya. Dalam hatinya Ari berjanji akan melestarikn budaya bangsa dan daerahnya agar tidak bisa direbut oleh bangsa lain. Dan kekayaan budaya yang dimiliki bangsanya tidak terhapus oleh zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar